Topik yang sangat menarik, relevan dan amat sulit memberantasnya di negara kita, yakni korupsi. Meski di dunia, korupsi adalah bentuk "the oldest evil" yang pernah ada, kira-kira sejalan dengan prostitusi.
Membuat dahi berkernyit, mengapa korupsi menjadi sulit diberantas, padahal kita telah mempunyai banyak perangkat untuk memberangus para koruptor di negeri ini.
Kita sudah punya UU anti korupsi no.20 tahun 2001, Aturan Pelaporan Gratifikasi 2004 oleh KPK (untuk mengatur seluruh pemberian-pemberian seperti: Hadiah, tiket perjalanan, pemberian uang, diskon, fasilitas penginapan, perjalanan wisata dan pemberian lainnya yang dapat dinilai dengan uang, yang diterima oleh pegawai negeri yang harus dilaporkan ke KPK, berapapun nilainya).
Masih ada juga Keppres tentang Pembentukan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi No.59/2004, lengkap dengan Keppres hakim adhoc-nya.
Masih kurang? Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Hamid Awaluddin menegaskan bahwasanya, korupsi adalah: Kejahatan Luar Biasa atau extraordinary crime!
Semangat penegasan ini tertera dalam UU No. 30 Tahun 2002 tentang KPK, yang merupakan payung hukum bagi organisasi KPK. Bahkan, pemerintah kabarnya ingin menyiapkan senjata pelengkap lagi yaitu Perpu Antikorupsi, untuk segera memenjarakan pelaku korupsi, dan memperlakukannya sama dengan teroris!!
Mengapa masih sulit memberantas korupsi? sikap "hitam-putih" dalam pelaksanaan hukum yang ada yang tampaknya kurang, apalagi jika membuat benchmarking pelaksanaan hukum dengan negara-negara maju dan sukses penegakan hukumnya, seperti Swedia, Jepang, Inggris, Belanda, Singapura dan Korsel.
Benar, tetapi pertanyaan bisa dilanjutkan menjadi: Mengapa sikap Hitam-putih sulit untuk dijalankan? Sederhana saja, yaitu karena para penegak hukumnya sendiri tidak bersih. Para penegak hukumnya sendiri banyak terlibat dengan rangkaian mafia peradilan, yang bisa "menggoreng perkara" (meminjam istilah dalam bursa saham).
Prinsip ini analog dengan membersihkan lantai kotor dengan sapu yang kotor pula. Mana bisa? Sapu itu harus bersih terlebih dahulu...
Kita bisa melanjutkan kembali dengan bertanya: Mengapa para penegak hukum tersebut mempunyai perangai kotor (korupsi dan kolusi yang kuat? Pertanyaan ini bisa diperluas dengan: Mengapa begitu banyak orang bermental korupsi? (mulai dari ibu rumah tangga, guru, pengurus RT, lurah, camat, bupati,anggota legislatif, pengusaha hingga para pejabat negara).
Orangtua sebagai Pendidik Awal Sikap Mental Korup
Inilah pola stair stepping thinking-nya. Sebelum kita menjawab, ada baiknya kita melihat pendapat para ahli pendidikan dan, sosial budaya bahwa: Untuk menghapus mental korup, kuncinya adalah pada pendidikan. Pendidikan?
Pendidikan yang mana? Ya, pendidikan keluarga sebagai yang awal dan terutama. Di keluarga, yang paling berperan dalam pendidikan adalah Orangtua. Merekalah pendidik awal, terutama dalam penanaman sikap mental atau perilaku-perilaku positif seperti kejujuran dan proses kerja keras.
Apakah bisa orangtua menanamkan sikap pada anaknya secara dalam dan kuat?
Jelas bisa. Simak saja. Sebagian besar anak kecil Indonesia jika bertemu dengan orangtua, masih mau melakukan cium tangan orang dewasa tersebut sebagai bentuk sikap hormatnya. Mengapa berhasil? Karena sikap ini selalu diomongkan dan diajarkan dari hari ke hari oleh orangtuanya.
Orangtua bisa menanamkan sikap atau perilaku kejujuran dan kerja keras ini melalui proses direct (misalnya melalui pengajaran, pemberitahuan, peringatan, memarahi, melihat literatur atau memarahinya) atau indirect (yang lebih ke arah teladan perilaku orangtua dalam suatu kasus atau momen tertentu).
Alih-alih berhasil, ternyata para Orangtua banyak yang gagal dan bahkan salah dalam menanamkan perilaku jujur ini kepada anak-anaknya. Termasuk kesalahan yang bukan terjadi tanpa disengaja, tetapi lebih karena ketidaktahuan, bahwa perilaku salah itu akan membekas dalam dan kuat di benak dan alam bawah sadar anak (unconscious mind). Inilah yang mempersulit
pemberantasan korupsi. Ibarat tumpas satu, tumbuh ratusan calon koruptor lagi.
Kita bisa melihat beberapa bentuk pendidikan (baik direct maupun indirect)
Orangtua, yang menyebabkan anak menjadi mempunyai mental korup:
- Ketika kondangan perkawinan ke pejabat pemda, kita sebagai orangtua memberikan sumbangan beberapa ratus ribu. Tetapi ketika Mat Sani tukang sampah kompleks perumahan yang hajatan mengawinkan anaknya, kita hanya menyumbangnya 5 atau 10 ribu rupiah. Padahal semestinya terbalik. ( indirect)
- Ayo..cepet cium tangan dan kasih salam..itu temen papa yang kaya raya lho...? Orangtua menyuruh anaknya memberi salam dan hormat sedalam-dalamnya kepada kerabat orangtua yang kaya raya. (direct)
- A..aku mau jadi gulu (guru) kalau udah becal..?ujar Monika kecil dengan logat pelo-pada ibunya. Apa? Jadi guru? Ya..kalau bisa janganlah?jadi pejabat aja... enak duitnya banyak..?sang Ibu menjawab dengan santainya. (direct)
- Pak Anton yang malu melihat anaknya tidak naik kelas, berupaya sekeras mungkin dengan cara apapun, termasuk membayar kepada kepala sekolah dan wali kelasnya agar mau menaikkan putranya tersebut. (indirect)
- Kasus dari kenalan saya. Ketika itu mereka berenam (3 orang dewasa, dan 3 orang anak kecil. Dua orang dewasa itua adalah orangtua dari ketiga anak tersebut) bertamasya ke Ancol. Karena bermaksud menghemat karcis masuk, salah satu anaknya disuruh bersembunyi di bagasi mobil ketika akan melewati pos pintu masuk. ( indirect)
- Di daerah Jawa Barat. Ada sebuah daerah yang terang-terangan orangtuanya tidak malu kalau mengantar anak gadisnya yang remaja mulai bekerja di rumah bordil, untuk membantu ekonomi keluarga!!! Gila kan? (direct).
- Keluarga Pak Johan, yang membayar ke sebuah Poltek universitas ternama di Jakarta, agar si Tina (yang hanya mendapatkan bangku cadangan dari hasil tes-nya) pasti mendapatkan bangku. Yang dibayar? Tujuh juta rupiah saja ketika itu....(indirect)
- Para orangtua yang menjadi hakim nakal. Mereka bukan menjadi kaya raya karena prestasinya mengadili dengan benar dan menggunakan keahlian, tetapi memberikan kemenangan pada yang mampu membayar. (direct)
- Para orangtua yang menjadi anggota DPR. Sebelum menjadi anggota DPR kemana-mana menggunakan bus kota yang sudah mau di-grounded, tetapi setahun menjadi anggota dewan, langsung bisa mempunyai beberapa mobil dan rumah mewah. (direct)
- Ibu-ibu belanja (terutama di pasar Inpres, karena pengawasannya lemah), yang sering nakal, dengan menyembunyikan beberapa belanjaan di balik daster atau pakaian dalam supaya tidak usah membayar. (direct)
- Yang paling penting dalam hidup itu adalah menjadi kaya (materialisme sempit), dengan cara apapun
- Menjadi orang kaya akan jauh lebih dihormati oleh orang lain
- Kejar kesuksesan, kalau perlu dengan berbagai cara, termasuk menyogok atau menyuap
- Kalau ada kesempatan mendapat untung, ambil saja dengan cara apapun
- Buat apa sekolah tinggi-tinggi atau kerja keras. Kalau ada jalan mudah (walaupun tidak halal), sikat saja bleh...
Maka kita tinggal berharap pada orangtua muda, atau calon orangtua sekarang untuk bukan sekedar jadi orang tua (dipisah), yang sekedar berarti tua usianya, tetapi sungguh mencoba menjadi orangtua (disambung), yang sungguh-sungguh bertangungjawab terhadap pembentukan sikap mental anak agar mempunyai sikap mental jujur, mau bekerja keras dan menghargai proses yang baik untuk mencapai tujuan.
Dengan demikian, proses penumpasan korupsi di negara kita akan lebih mudah berjalan. Selamat membuat anak-anak kita bermental jujur....
Konsultan Sikap Mental - Direktur Pendidikan